Senin, 17 Agustus 2015

silvertongue

ini bahaya. aku kehilangan kemampuan silvertongue-ku. masih segar di ingatanku betapa aku menginginkan cuti selama dua bulan. selama beberapa waktu, kemampuanku itu mewujudkan keinginanku sehingga aku pun bekerja--tetapi sebenarnya tidak "terlalu bekerja"--dan itu nyaris sama persis dengan cuti.

aku pun juga masih ingat dengan kemampuanku itu aku sudah seperti necromancer yang bisa membangunkan kembali orang yang sudah mati. padahal, mantra yang aku rapalkan sekadar asal-asalan.

tetapi kini kemampuanku memudar. aku tidak sanggup menghadirkan keinginan atau melakukan sihir. aku hanya mampu menunggu keajaiban dari luar sana atau mungkin dari atas sana--arah yang mampu mendatangkan keajaiban yang dahsyat.

aku menunggu, mengira keajaiban sudah dekat. aku bersabar dan menduga ini hanya masalah waktu. namun... aku mulai lelah. keajaiban itu belum datang juga. aku berusaha menghidupkan kembali kemampuanku. ah, sia-sia... hampir mati aku dibuatnya. mungkin aku sekarang seperti zombi yang bisa bergerak tetapi tidak mempunyai roh.

oh, slivertongue-ku
oh, keajaiban

napasku kini terputus-putus, membuatku merasa yakin aku tidak mampu melanjutkan hidupku lebih jauh lagi. tetapi, kalau memang belum ajalku, tetap saja aku tidak akan mati. aku akan terus menjadi zombi. menjadi zombi itu menyiksa.

aku sebenarnya sangat ingin menjadi manusia normal. kalau aku pikir-pikir, menjadi zombi itu menjijikkan. ya, sama seperti hidupku ini. keadaan bisa begitu menjijikkan sampai-sampai aku ingin keluar darinya.

sampai kapan aku begini terus, terpaksa kehilangan silvertongue dan tidak berdaya menanti keajaiban. masih adakah cara lain untuk bahagia?

ya, terkadang masih ada sisa-sisa cara untuk berusaha menyenang-nyenangkan diri. aku alihkan saja perhatianku sejenak. tetapi yang menyebalkan, ketika tengah memalingkan diri dari hidup, aku terpaksa kembali dihadapkan dengan realita pahit. oh, yang benar saja. seakan-akan tidak ada sepotong tempat bagiku untuk bahagia dengan seorang diri saja.

lalu sekarang sebaiknya bagaimana? aku telah lelah karena kehilangan, penantian, dan upaya sia-sia. tidak tahu lagi harus berbuat apa...

adakah yang tahu???


Senin, 20 April 2015

ujung waktu

ujung waktu

tertegun mendapati
kelelahan di ujung waktu
bersama ingin menjalani
namun harap terus berlalu

menunggu dan menanti
termangu dalam sunyi
ingin berlari
mencari dan meraih hati

letih melanda
lemah mendera
nyaris tak sanggup berkata
asa musnah ditelan masa

adakah tersisa
satu pinta
mimpi menjelang
nyata pun datang










Minggu, 24 Maret 2013

"Beautiful", Christina Aguilera

Every day is so wonderful

And suddenly, i saw debris


Pada mulanya semua normal, hingga akhirnya,  BUMMMM!!!! Berbalik seratus delapan puluh derajat. Apa ini???? Apa yang salah???? Sampai sekarang belum tahu jawabnya.

You are beautiful no matter what they say

Words can’t bring you down

You are beautiful in every single way

Yes, words can’t bring you down

Don’t you bring me down today


Tetapi berusaha untuk tetap bertahan. Memang tidak mudah, namun setidaknya mencoba...


Selasa, 01 Januari 2013

muncul kembali

Sudah setahun saya tidak memperbaharui blog ini. Malas! Ya, itu alasan utama saya. Di samping ini juga tidak seperti buku diari saya, di mana hanya saya yang membacanya. 

Kalau menulis di diari, saya cenderung semaunya. Saya tidak peduli dengan apa yang saya tulis karena saya tidak perlu takut menyinggung perasaan orang lain. Berbeda dengan di blog, saya harus lebih hati-hati dalam memilah dan memilih kata. 

Well, kembali ke perihal memperbaharui blog. Apa itu artinya saya sedang rajin? Hmmm... tidak. Saya justru sedang malas menjalani kehidupan sehari-hari yang terasa menjenuhkan. Ingin rasanya cuti tiga hari--bermalas-malan di rumah dan tidak melakukan apa pun. Tapi apa daya, saya belum dapat jatah cuti dari kantor. Huft...

Jenuh, oh jenuh... seharusnya kamu tidak usah datang. Kamu cuma bikin hidup saya susah. Saya jadi malas dan ga bersemangat. Biasanya kalau sudah begini cuma masalah waktu. Nanti tiba-tiba akan kembali seperti semula. 

Tiba-tiba teringat lagu "Can't Stop Loving You" milik Phil Collins. Lagu yang sangat sedih untuk saya. So you're leaving in the morning on the early train... Kenapa coba harus berpisah. I always be here by you're side. I never want to say goodbye. I always here if you change, change your mind.

Ada yang pergi untuk waktu yang lama. Ingin rasanya meyakinkan diri kalau it's not goodbye, but until we meet again.

Misery, it's what I feel when you're not around. So what can heal.

I want you to know, you belong in my life. I love the hope, I see in your eyes. For you I would fly, at least I can try. For you I'll take the last flight out.

I'm the one who wants to love you more.

Seolah tidak mau kalah dengan Trilogi The Lord of The Rings, lagu itu juga merupakan trilogi yang membentuk satu-kesatuan cerita.




Minggu, 18 Maret 2012

Hati-hati kalau berkomentar

Tahu lagu Bruno Mars "It will rain"? Kalau tidak salah, lagu itu juga soundtrack Breaking Dawn part 1.

If you ever leave me, baby,
Leave some morphine at my door

Hmmm... benar-benar lagu patah hati. Lanjut dengerin sampe ke bait reff.

Cause there’ll be no more sunlight
if I lose you, baby
There’ll be no clear skies
if I lose you, baby
Just let the clouds, I
I will do the same if you walk away
Everyday, it will rain

Ah! Bang Bruno lebay lo. Kayaknya ga segitunya kaleeee...
Eh, beberapa waktu berselang, kejadian sama diri sendiri. Suka sama cowok dan ketika cowok itu ga ada, huaaaaaaaa......!!! sediiiiihhh banget. Reff lagu Bang Bruno tadi jadi kenyataan.

Di langit ga ada lagi sinar matahari
Ga ada lagi langit cerah

Uhuhuhuuuu hiks. Everyday it will rain, rain, rain, raaaaaaiiiiiiin

Bruno Mars, maafin ya.
Ternyata lagu lo, gw banget.

Sabtu, 08 Oktober 2011

Friyday I`m in Trouble

So, so what I`m still a rock star
I got my rock moves
And I don't need you

(“So What” Pink)

Fani terkantuk-kantuk mendengar atasannya, Pambudi Suteja, bercuap-cuap tentang rencana kerja sama dengan sejumlah perusahaan seperti PT Indigo Company, PT Starlight Indonesia, dan PT Surya Persada Jakarta. Sebenarnya masih ada dua perusahaan lagi yang akan diajak kerja sama, tetapi Fani acuh tak acuh dengan semua pembicaraan dalam rapat. Kertas catatannya dipenuhi dengan coretan-coretan tidak berarti yang sengaja dia buat untuk mengusir rasa kantuknya. Sementara matanya sudah demikian berair lantaran berkali-kali menguap. Namun, berkali-kali itu pula Fani dengan sekuat tenaga harus menyembunyikannya. Entah itu dengan tidak membiarkan mulutnya terbuka atau dengan berpura-pura menunduk.

Aduh, ngantuk banget, ucapnya dalam hati sambil menambah sejumlah coretan lagi di sudut bawah kertasnya. Permen. Ya, itulah yang terpikir olehnya untuk membuat dirinya tetap terjaga.

Fani menegakkan tubuhnya lalu merogoh saku blazer-nya dengan harapan menemukan sebungkus kembang gula yang mungkin saja pernah dia selipkan tanpa sadar sebelumnya. “Yaah... ga ada,” desisnya hampir tanpa suara. Di kantong celana mungkin, pikirnya sambil terus melanjutkan pencariannya. “Yaah... ga ada juga,” gumamnya kecewa.

Sontak Fani kembali disergap rasa kantuk. Perkataan bosnya seperti alunan lagu super slow milik Vanessa William bertajuk Save the Best for Last yang akan membuat kepalanya terkulai lemas di atas meja dan matanya terpejam dengan sangat rapat.

“Saya optimis kerja sama kita kali ini akan membuahkan hasil yang lebih besar dibandingkan dengan periode yang lalu….” Begitulah bosnya terus berbicara dan sepertinya akan terus melakukan hal itu sampai setidaknya lima belas menit ke depan.

“Tapi maaf Pak, saya potong sebentar.” Winda yang setia mengikuti jalannya rapat angkat bicara.

“Ya, silakan Winda.”

“Bagaimana kalau perusahaan-perusahaan yang pernah kita ajak kerja sama sebelumnya seperti PT Indotama atau PT Sukma Buana, kita ajak kerja sama kembali.”

Dengan kepala yang ditopang dengan tangan kiri, Fani menoleh ke arah Winda. Tampak dari bibir tipisnya terdapat sebuah seringai yang menandakan kebanggaan terhadap diri sendiri karena sudah melontarkan usulan yang menurutnya hebat.

“Memang kerja sama pada periode yang lalu itu hasilnya tidak begitu besar,” ucap Winda melanjutkan. Sementara, Fani yang berada di seberang Winda tidak peduli sama sekali dan kembali menekuri kertas catatannya untuk menorehkan grafiti-grafiti dengan mata sendu karena terus digelayuti rasa kantuk. “Tapi, menurut saya itu perlu dilakukan untuk menjaga hubungan baik yang sudah terjalin sebelumnya.”

Pak Budi mengangguk-angguk, menelaah perkataan Winda. Kepalanya yang botak memantul-mantulkan cahaya lampu ruang rapat.

“Boleh juga,” ujar Pak Budi singkat. “Tapi, saya mau tanya pendapat audience yang lain dulu. Hmmm…. kalau menurut Anda bagaimana, Fani?”

Fani yang mendengar namanya disebut spontan menegakkan kepala. Matanya yang tinggal dua watt kini kembali berpijar. Kertasnya yang penuh dengan coretan tidak bermakna dia tutupi dengan tangannya. “I…iya Pak.”

“Gimana usulan Winda tadi?”

Usulan apa? Hati Fani bertanya-tanya. Dia pun menoleh ke arah Winda yang kini bibirnya melontarkan senyuman mengejek kepadanya. “Uhmm…” Fani memperhatikan semua peserta rapat dan tampak semua mata tertuju ke arahnya. Dia tahu dirinya sudah ditunggu. “Mungkin,” kata Fani lambat-lambat. Otaknya bekerja keras mencari kalimat yang harus diucapkan. “Mungkin kita….,” katanya lagi dengan maksud mengulur-ulur waktu. Aduh, mati gue! Gue harus ngomong apa. Dilihatnya senyum mengejek Winda semakin terkembang. Dia tidak rela dirinya dihina seperti itu. “Mungkin kita…,” ulangnya lagi. Fani menghela nafas panjang dan nothing to lose dia akhirnya mengatakan, “Saya tidak tahu pasti.” Fani masih takut-takut. “Tapi, mungkin ada baiknya kita membahas kelebihan dan kekurangannya bersama-sama.” Fani selesai berkata-kata dan dia bingung sendiri kenapa kalimat seperti itu bisa meluncur dari mulutnya. Kelebihan dan kekurangan apa coba?! Siap-siap diketawain aja deh gw. Dia pun pasrah menerima nasib.

Ruang rapat hening sejenak. “Ada benarnya perkataan Fani tadi.” Pak Budi berdiri dari kursinya untuk menuju papan tulis dan menorehkan sebuah garis mendatar dan sebuah garis menurun yang tepat di bagian tengahnya terdapat titik perpotongan antara dua garis tersebut. “Kita analisis SWOT bersama-sama.”

Wajah Winda menampilkan ekspresi kecut. Dia jengkel karena Si Bos menyetujui perkataannya. Fani yang merasa di atas angin membalas ejekan Winda tadi dengan melontarkan senyum penuh kemenangan layaknya senyum kemenangan khas Mr. Bean karena telah berhasil menebarkan kedukaan kepada orang-orang di sekitarnya.

h 6 h

Rapat berakhir ketika jam menunjukkan pukul 16.35. Fani membereskan perlengkapan tulisnya lalu bergegas berdiri dan berjalan meninggalkan ruang rapat. Kertas catatannya yang diletakkan di atas buku agendanya terlihat penuh dengan tulisan tangannya yang rapi. Sejak Pak Budi memanggil namanya dan meminta pendapatnya, Fani terus membuka matanya dan mencatat setiap hal yang menurutnya penting. Dia tidak mau lagi menjadi bahan ejekan Winda.

“Fan, Fani.” Pak Budi memanggil.

Fani yang sudah hampir mencapai pintu langsung berhenti dan menoleh. Dilihatnya Pak Budi memberikan isyarat untuk mendekat karena masih ada yang ingin dibicarakannya. Winda yang juga mendengar nama Fani dipanggil ikut menoleh. Api kedengkian tersulut dan berkobar-kobar dari balik kacamata minus-duanya yang berbingkai persegi. Bibirnya terkatup dan giginya gemeretak. Dengan perasaan gerah, dia akhirnya meninggalkan ruang rapat.

“Ada apa, Pak?” tanya Fani santun.

“Saya mau lihat catatan rapat kamu.”

“Catatan saya?” Untunglah ketika berjalan mendekati Pak Budi tangannya tanpa sengaja melipat kertas catatannya menjadi dua dan coretan isengnya tersembunyi di bagian dalam. “Tapi kan udah ada Monique.” Monique adalah sekretaris manajer dan selalu bertugas sebagai notulen di setiap rapat.

“Ya memang, tapi takutnya ada yang kelewat.”

Fani nyengir kuda. Tidak mungkin dia menyerahkan kertas ini kepada atasannya. “Uhm… catatan saya berantakan,” dustanya. “Gimana kalo saya ketik dulu, nanti saya antar ke ruangan Bapak.” Fani akhirnya bisa berkelit.

“Oh, ya boleh.” Pak Budi mengiyakan. “Saya tunggu di ruangan saya.”

“Iya, Pak. Permisi.”

“Hmm… Fani.” Pak Budi mencegah Fani kembali.

Fani refleks menghentikan langkahnya. “Ya. Ada apa lagi, Pak?”

“Pulang kantor kamu ada acara?”

Fani menggeleng. “Ga ada, Pak. Tapi….” Perasaan Fani gundah, jangan-jangan atasannya menyuruh rapat lagi dan mencegah karyawan-karyawan lain untuk pulang, “rencananya saya mau langsung pulang.” Arrrggghhh, rapat sampe malem di hari Jumat! “Kalo boleh tahu, kenapa ya, Pak?” tanya Fani khawatir sambil berharap dugaannya itu salah.

“Oh, enggak kok. Ga apa-apa,” jawab pak Budi sambil mengemasi berkas-berkasnya. “Ya udah, saya tunggu catatan kamu ya.”

“Iya, Pak. Segera saya antar, permisi.”

Kali ini Fani melenggang menuju pintu tanpa dicegah untuk kali ketiganya.

Fani bergegas kembali ke meja kerjanya karena dia ingin cepat-cepat mengetik catatan rapatnya, menyerahkannya kepada Pak Budi, mengemasi barang-barangnya, dan mengangkat kakinya sesegera mungkin ketika pukul 17.00. Ada tiga hal yang memenuhi pikirannya saat ini, yaitu rumah, rumah, dan rumah. Ya…. Walaupun ketika baru keluar kantor dia sudah dihadang oleh kemacetan yang mengulur dan mengular, tetapi setidaknya dia tidak berada di tempat terlarang pada waktu yang salah. Berada di tempat terlarang pada waktu yang salah di sini maksudnya adalah berada di kantor pada hari Jumat sore. Itu merupakan suatu dosa besar baginya.

Pikiran Fani melayang-layang meninggalkan raganya yang masih terkungkung di antara kukuhnya partisi kantor, dinginnya deretan meja kerja, dan kakunya ekspresi wajah orang-orang yang lekat memandangi layar monitor. Pikirannya sudah sampai di rumah. Dia membayangkan dirinya berendam air hangat sambil ditemani wewangian aroma terapi. Setelah menyelesaikan ritual relaksasinya itu, kini dia berkhayal bisa merebahkan tubuhnya dengan perasan damai yang diiringi lantunan lembut dari melodi lagu Because you loved me milik Celine Dion.

“Eeehh… Kirain Pak Budi!” cetus Violet sebal yang sudah bersiap kembali ke mejanya ketika Fani muncul dari mulut lorong.

Ruang kerja yang senyap sejenak sontak gaduh kembali. Di ruangan ini terdapat sembilan orang. Lima wanita—termasuk Fani dan empat pria. Mereka semua bersuara. Ada yang bicara, ada yang tertawa, dan ada yang ber-ahh atau ber-ohh ria karena menanggapi orang yang sedang bicara. Tidak jelas apa yang mereka bicarakan karena suara mereka saling tumpang tindih layaknya suara kawanan lebah yang berdengung-dengung memenuhi seisi sarang. Namun, ketika Fani simak sebentar akhirnya dia mengetahui apa yang menjadi topik pembicaraan mereka. Winda, Monique, dan Violet yang berkumpul di meja Tasha sedang membicarakan rencana mereka untuk hang out sepulang kantor nanti.

“Pokoknya kita nanti Tenggo! Jam lima teng, go!” ujar Winda yang menumpangkan separuh berat badannya di atas meja Tasha.

“Halah, ngomong sih bisa lo! Tapi, liat aja ntar. Pasti elo yang paling belakangan, paling repot, paling heboh.” Violet menghitungi kelemahan Winda. “Kayak yang terakhir kita jalan itu. Kita semua udah rapi nih. Eh, lo yang bolak-balik ke toilet. Yang belom dandanlah, belom pake parfumlah,” cecar Violet yang berdiri dengan tangan dilipat di dada.

Tasha yang memainkan permainan solitaire menimpali, “Mobil gue ga bisa nunggu lama-lama.”

“Udah, Sha, tinggal aja kalo kelamaan.” Monique yang duduk di atas kursi lipat tampak tidak tahan untuk sekedar menjadi pendengar.

Violet, Monique, dan Winda rupanya sudah sepakat tidak membawa mobil hari ini karena mereka semua akan naik mobil Tasha untuk meluncur bersama-sama menuju FX Lifestyle Center di bilangan Sudirman. Hal itu mereka lakukan atas nama efisiensi dan yang terpenting mereka dapat bergosip sesuka hati di sepanjang perjalanan.

Fani yang sedang mengoperasikan Microsoft Word untuk mengetik catatan rapatnya, diam-diam memasang telinganya untuk menyimak obrolan mereka. Namun di saat yang sama, tiba-tiba saja terbersit perasaan kecil hati karena keberadaaanya tidak dianggap sama sekali. Ya ampun, kenapa sih mereka nyuekin gue. Mana pernah mereka ngajak gue jalan. Jangankan ngajak jalan, ngajak ngobrol aja ga pernah, pikirnya kecut. Akan tetapi baru berselang satu detik, perasaan itu segera ditampiknya jauh-jauh. Ih, kenapa gue mikir kayak gitu ya, pikirnya lagi setelah menyadari kesalahannya. Terserah mereka mo ngapain, gue ga bakal peduli dan ga mau ambil pusing.

Sementara di ujung sana Bayu, Theo, Galang, dan Romy asyik memperbincangkan seorang pemain bola Brazil dengan segudang prestasi yang berencana hengkang dari AC Milan. Siapa lagi kalau bukan Ricardo Izecson Santos Leite atau yang lebih dikenal dengan nama Kaka.

“Siapa yang ga doyan duit!” tutur Galang berpendapat. “Liat aja Beckham, dia kan pindah ke LA. Bayangin, 225 JUTA POUNDS PER MINGGU.” Galang berapi-api. “PER MINGGU, Man! PER MINGGU!”

“Eh, tapi lo musti inget, Bro,” tukas Bayu menepuk bahu Galang. “Adakalanya idealisme ga tergantikan sama ini.” Bayu menggesekkan ujung ibu jari dengan telunjuknya.

“Mansour bin Zayed bisa aja ngeluarin duit segitu gede. Tapi kalo pun Kaka mau pindah ke Liga Inggris, gue yakin Machester City bukan klub yang pas buat dia. Secara yang pas buat dia kalo ga MU ya Arsenal,” kata Romy menganalisis. “Karena Manchester City ga sekompetitif dua klub itu. Apalagi Kaka kan pemain yang berkembang terus.”

“Kita tunggu aja keputusan Ancelotti, mau ngelepasin Kaka ga,” ujar Theo dengan gaya santainya yang seakan meluncurkan closing statement untuk menutup topik pembicaraan mereka kali ini.

Bersamaan dengan itu Pak Budi datang dengan suara dehem yang menggema. Seketika mereka yang sibuk mengobrol berhenti dan secepatnya kembali ke meja masing-masing.

Udah selesai?” tanya Pak Budi dengan ekspresi wajah melembut ketika tepat berada di depan meja Fani.

“Tinggal di-print, Pak,” jawab Fani yang sedang menggerakkan mouse kemudian meng-klik kotak yang bertuliskan ‘OK’.

Tak ayal, mesin pencetak langsung melahap selembar kertas putih polos dan mengeluarkannya dengan salah satu sisi dipenuhi dengan deretan huruf.

Winda yang berada persis di samping kiri Fani hanya memperhatikan dengan pandangan penuh selidik. Dan, ketika Fani hampir mencapai pintu kayu berkaca untuk membukanya dan menyerahkan kertas yang baru saja dicetak itu—Winda melakukan kontak mata dengan Monique, Violet, dan Tasha. Monique menggeleng-gelengkan kepalanya, Violet mengangkat bahunya, dan Tasha membiarkan matanya mengantarkan Fani hingga ke dalam ruangan Pak Budi.

“Permisi, Pak,” cetus Fani sambil sedikit merendahkan kepalanya.

“Ya, masuk,” sambut Pak Budi dengan mengumbar senyuman lebarnya.

“Ini, Pak, udah selesai.” Fani menyodorkan kertas itu dengan posisi yang terbalik menurut pandangan matanya, namun sesuai menurut pandangan mata Pak Budi. “Tapi, pas awal-awal rapat banyak yang ga saya catat,” imbuhnya yang mengakui kekurangannya.

Pak Budi yang membaca sekilas catatan Fani mengangguk-angguk. “Enggak kok, ini udah cukup,” sanggah atasannya yang menempatkan kertas itu di atas berkas-berkas miliknya. “Tadi kamu bilang kalo kamu ga ada acara abis jam kantor kan?”

“I…iya, Pak,” sahut Fani agak tergagap. Wah, meeting jilid kedua nih!

“Gimana kalo kita makan malam?” Pak Budi akhirnya dapat mengutarakan keinginannya yang sudah cukup lama terpendam.

“Makan malam?” Fani balik bertanya. Dia tidak percaya bosnya mentraktir. “Wah, dalam rangka apa, Pak? Ulang tahun pernikahan ya, Pak? Yang keberapa? Yang ke-25? Ulang tahun perak dong, Pak! Boleh-boleh, kita makan di mana? Ibu dateng ke sini dulu atau langsung ketemu di restoran? Phew… bener-bener ga nyangka diajak makan malam. Tadinya saya kira kita bakal meeting lagi lho, Pak,” cerocos Fani seperti Eminem yang mengusung lagu rap bertitel The Real Slim Shady.

“Kamu ngira hari ini ulang tahun pernikahan saya? Terus, saya ajak semuanya untuk makan malam?”

“He’eh. Iya kan, Pak? Atau dalam rangka yang lain? Bapak mungkin dipromosikan atau Bapak ulang tahun?”

Pak Budi membenamkan wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Fani telah salah menangkap maksud ajakannya. Akhirnya Pak Budi dengan hati-hati berkata, “Hari ini bukan hari ulang tahun pernikahan saya. Saya ngajak makan malam kamu juga bukan karena saya dipromosikan atau karena saya ulang tahun.”

“Bukan?” tanya Fani heran. “Terus karena apa, Pak?”

“Saya ga ajak istri saya atau karyawan yang lain.” Pak Budi tidak menjawab pertanyaan Fani. “Jadi, cuma kita berdua aja yang makan malam.”

Fani tiba-tiba merasa dikirim ke Antartika. Tubuhnya kaku membeku dan dia sudah menjadi patung es—patung es dengan mulut melongo tentunya.

“Soal restoran kamu aja yang pilih. Pokoknya terserah kamu. Mau masakan Eropa, Cina, Jepang, Thai—pokoknya pilihan sepenuhnya ada di tangan kamu. Gimana? Kamu bisa kan?” Pak Budi kelihatannya tidak dapat menerjemahkan ekspresi wajah Fani. “Gimana?” tanyanya lagi.

Lapisan es yang menyelubungi tubuh Fani serta merta retak dimulai dari ujung kepala yang terus menjalar hingga ujung kaki. Setelah retakan itu sudah mencapai titik jenuh, lapisan es itu meledak dan serpihan-serpihan kecil yang beku sekaligus keras berhamburan ke seluruh penjuru arah.

Fani memaksakan dirinya tersenyum walaupun bibirnya serasa digantungi beban seberat 10 kg. “Saya?”

Pak Budi menanti dengan was-was. Di lubuk hatinya yang terdalam, dia mengharapkan jawaban ‘ya’ dari bibir Fani yang dipoles dengan lipstik warna pink rose.

“Oh, ya ampun!” Fani menempelkan telapak tangannya di atas kening.

Pak Budi terpaksa harus menunda kegembiraannya. “Kenapa? Ada yang kelupaan?”

Akting Fani pun dimulai. “Selesai meeting tadi saya ditelepon.” Fani sengaja berhenti sejenak, dia ingin melihat perubahan air muka Pak Budi. “Tunangan saya ngundang makan malam bareng orang tuanya—dengan kata lain calon mertua saya, Pak.” Fani mendapatkan apa yang diinginkannya. Wajah Pak Budi yang awalnya cerah berserk-seri sontak berubah 180 derajat menjadi gelap karena dianungi awan kekecewaan. “Kalo saya makan malam sama Bapak, terus batalin makan malam sama tunangan saya, hmmm…. Gimana ya, Pak?!” Fani menikmati permainan ini. “Masalahnya ini menyangkut masa depan saya. Jadi….” Kepala Pak Budi tertunduk lesu, “maaf ya, Pak. Saya ga bisa makan malam sama Bapak.”

Pak Budi berusaha menegakkan kepalanya. “Kalo kamu emang ga bisa, ga apa-apa,” katanya sambil menabahkan hatinya.

Fani merasa menang. Ingin sekali rasanya dia tertawa terbahak-bahak dengan suara lepas tak ubahnya seperti suara tawa Pahlawan Bertopeng dalam film Shinchan.

“Kalo hari ini ga bisa, mungkin di lain kesempatan kita lebih beruntung.”

Tawa kemenangan Fani langsung berubah menjadi tangis kekalahan. Lain kesempatan? ulangnya dalam hati. Dirinya seperti berada di area pemakaman dengan warna hitam dan kelabu yang menyelimuti. Sementara suara serak burung gagak yang bertengger di pucuk pohon membuat suasana semakin suram. Tadi dia bilang apa? Beruntung? Keberuntungan macam apa yang bisa gue dapet, hah?! Bisa-bisa MALAPETAKA yang gue dapet.

Mata Pak Budi lekat menatap Fani seakan memintanya untuk menyetujui pernyataan yang baru saja dilontarkan. Namun, Fani tidak ingin bilang ‘ya’. Dia bingung bagaimana seharusnya bereaksi, sementara kedua kakinya sudah tidak sabar ingin segera mengambil langkah seribu.

Rabu, 29 Juli 2009

Mereka kenapa ya? Kok ga ada yang nanya2, klo mau su'uzhon jangan2 mereka udah ga peduli lagi. Ya ampun, kasian banget.... Apa mereka udah males ajah. La a'rif....

Padahal klo kemaren itu yang ikut banyak, wah... seru banget. Yang berikutnya HARUS lebih banyak yang ikut.